Kekurangan Dan Kerugian Tes IQ

Intelijen quotient atau lebih sering disingkat dengan IQ (baca: ai kiu), adalah pengukuran numerik untuk dasar pengetahuan dan intelijensi anda. Beberapa sekolah ternama biasanya membutuhkan tes IQ bagi siswa-siswi baru yang masuk, yang hasilnya akan digunakan sebagai dasar untuk menentukan kelas bagi mereka.

Dan walau keuntungan melakukan tes IQ cukup bisa dirasakan, namun banyak pakar yang tidak setuju dan mengatakan bahwa tes IQ adalah hal yang percuma. Alasan mereka adalah bahwa tes IQ tidak dapat melihat secara penuh akan tingkat kecerdasan seseorang.

Tes Wechsler dan Skala Stanford Binet Intelligence yang biasa digunakan hanya mengukur tingkat IQ mulai skala 70 hingga 165, dan hasilnya juga bisa jadi kurang meyakinkan. Berikut ini beberapa kekurangan dan kerugian tes IQ yang disampaikan oleh banyak pakar.

kekurangan dan kerugian tes IQ

Membatasi Potensi dan Menciptakan Stereotip

Tes IQ dapat membatasi potensi dari siswa dan menciptakan stereotip dalam ruang kelas.

Sebuah hasil penelitian yang disampaikan dalam paper berjudul "Brief History of the Measurement of Intelligence", mengatakan bahwa mereka yang berasal dari kelompok minoritas dengan keadaan ekonomi yang kurang baik biasanya akan memiliki skor IQ yang lebih buruk.

Dan setelah menerima hasil tes yang buruk tersebut, biasanya para siswa akan percaya bahwa mereka adalah "bodoh" atau kurang pandai jika dibandingkan dengan teman-teman yang lain. Padahal ini sebenarnya bukanlah salah mereka sama sekali.

Sebaliknya, para siswa yang mendapatkan skor tes IQ yang tinggi biasanya akan menjadi sombong dan memandang rendah (tidak adil) terhadap teman-teman mereka yang memiliki nilai lebih rendah.


Hanya Satu Penilaian

Skala untuk tes IQ yang diputus berdasarkan penilaian dari hasil jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diberikan tersebut hanya dengan satu penilaian yang dianggap mewakili intelijensi seseorang.

Dan menurut Encyclopedia of Mental Disorders, satu penilaian ini tentu tidak akan cukup untuk menggambarkan berbagai kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang. Satu penilaian yang ditetapkan bagi intelijensi anak atau orang dewasa berdasarkan pemahaman atas pelajaran tradisional bukanlah cara yang tepat untuk mengukur IQ.

Terlebih, hasil tes IQ yang buruk dapat membatasi aspirasi seorang anak hanya karena satu penilaian yang dia peroleh tersebut.

Membatasi Subyek

Tes IQ yang tradisonal biasanya hanya menilai berdasarkan beberapa subyek seperti kemampuan membaca, pembatasan, kejadian bertautan, atau kemampuan matematika.

Tes IQ tersebut tidak pernah menilai kemampuan mekanis, keterampilan bersosialisasi, ataupun kreativitas seseorang. Padahal menurut Chapel Hill School of Social Studies, kemampuan-kemampuan tersebut sama pentingnya dengan kemampuan-kemampuan lain yang ada di dalam tes IQ.

Secara sederhana, mereka mengatakan bahwa tes IQ bukanlah cara yang efektif untuk mengukur kecerdasan seseorang, karena kecerdasan itu sendiri terdiri dari banyak aspek, subyek, dan bakat.

Ketepatan Dalam Memprediksi

Seseorang yang mendapatkan nilai tes IQ yang tinggi tidak secara otomatis akan memperoleh tingkat keberhasilan yang baik pula dalam hidup mereka.

Tes IQ ini adalah prediktor (alat memprediksi) yang buruk untuk memprediksi kesuksesan sosial-ekonomi seseorang. Hal ini membuat tes IQ menjadi alat yang tidak berguna dalam memprediksi kesuksesan dari masa depan seorang anak.

Seorang psikolog bernama Wayne Weiten mengatakan dalam bukunya yang berjudul "Psychology: Themes and Variations", bahwa walaupun mereka yang memiliki IQ tinggi berpotensi dapat mencapai kesuksesan, namun mereka yang ber-IQ rendah juga dapat mencapai hal yang sama jika memiliki ambisi dan mempelajari berbagai keterampilan.